Kamis, 07 Juli 2011

Secangkir Teh di Jum'at Pagi

Secangkir teh menemani kesenduan
Hangat, manis
Menghangatkan bekunya ruang-ruang hati
Membuka kedua mata menyaksikkan dunia
Di pagi ini


Menyingkap tirai
Mengizinkan secercah cahaya menerangi
Menaungi diri
Di Jum'at Pagi


#terima kasih untuk yang telah membangkitkan emosi  di pagi ini



#RealGalau part 4

"Ketika wanita menangis, bukan dia tidak berusaha menahan, melainkan ia tak mampu lagi membendung air matanya"

#RealGalau part 3

"Ketika wanita menangis, ia bukan ingin terihat lemah, melainkan ia tak sanggup berpura-pura lemah"

#RealGalau part 2

"Ketika wanita menangis, ia bukan mengeluarkan senjata terampuhnya, melainkan senjata terakhirnya"

#RealGalau

Jangan pernah mengharapkannya lagi karena hatinya teruntuk untuk orang lain. *sadar! Kamu bukanlah apa-apa. Apa kamu masih ingin terlihat lemah di hadapannya? Menjadi boneka untuk mainan? Kuatkanlah hatimu. Untuk apalagi kamu sia-siakan air matamu yang akan tetap menambah  bumbu kebahagiaannya? Stop it girl! Wake up! Move on!

Belum Tepat Untuk Merasakannya

Seketika, kuhardik diri ku sendiri
Sungguh lemah dan bodoh
Begitu mudahnya terbujuk,terjebak
Dan begitu sulit lari dari perangkap perasaan

Ia pernah berkata
"Di mana kamu saat hatiku untukmu?"
Gugup,aku tak sanggup menjawab
Karena aku memang tak pernah ada untukmu
Tapi hatiku untukmu,padamu

Kutangisi, ia pun berlalu
Semakin jauh berlalu
Sisa kepingan harapan runtuhku untuknya
Ia tak peduli, dan acuhi aku

4 malam menjalani sepinya hari
Berteduh dengan keimanan hati
Kuukir sedikit senyuman kepercayaan pada-Nya
Mungkin belum tepat untukku merasakannya

Selasa, 05 Juli 2011

Tega-rossa

Menjelang hari bahagiamu
Kau tak pernah tahu aku bersedih
Kau lupakan semua kenangan lalu
Lalu kau campakkan begitu saja

Reff :
Tega...
Aku tahu dirimu kini telah ada yang memiliki
Tapi bagaimanakah dengan diriku
Tak mungkin ku sanggup untuk kehilangan dirimu
Aku tahu bukan saatnya
Tuk mengharap cintamu lagi
Tapi bagaimanakah dengan hatiku
Tak mungkin ku sanggup hidup begini
Tanpa cintamu

Tak ingatkah kau dulu pernah berjanji
Bahagaiakan diriku selamanya
Tak berarti kah cinta kita yang lalu
Hingga kau bersama dengan dirinya

Back to Reff (2x)

Cukup Aku Untuk Menjauh

Susah untuk merasakan sebuah kebahagiaan saat orang lain merasakan kebahagiaan, dan aku tidak merasakannya. Terlebih, untuk melihatnya bahagia di atas jerit tangis. Tapi, apa daya, apa guna, aku tetap tak mampu mengatakannya ataupun mengutarakannya. Sudah cukup banyak rentetan cerita sedih yang tak mungkin kubagi dan ditertawakan oleh banyak orang. What a stupid girl ! Memaki diri, memaki nasib? Tak ada gunanya. Semuanya tetap begini adanya. 

Aku senang melihat dia kembali tersenyum, dan merasakan apa yang sesungguhnya ingin ia rasakan. Aku ingin segera melupakan dan dibenci. Aku ingin membuatnya tidak mengenaliku. Aku tidak lagi ingin menjadi gadis tolol dan rapuh. Cukup aku untuk menjauh.

Senin, 23 Mei 2011

Dunia Anak-Anak

Lampu Merah di Car Free Day


Papa mengangkat sepeda merah jambu Rania serta sepeda biru tua milik Arya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Mama pun memasukkan banyak makanan serta minuman ke dalamya mobil. Rania dan Arya duduk manis di beranda rumah mereka sambil menatap heran orang tua mereka yang terlihat sangat sibuk. Rania dan Arya tak tahu apa yang direncanakan orang ta mereka.

“Beres! Sekarang semua, naik ke mobil!” sambil menutup pintu bagasi, papa menyuruh anak-anaknya serta mama untuk naik ke mobil.

“Kita mau ke mana sih,pa?” Tanya Rania bingung.

Papa tidak menjawab pertanyaan Rania dan mama pun terlihat menahan tawanya. Rania dan Arya,adiknya, duduk bisu di kursi tengah menatap jalanan yang mereka lalui. Papa menghidupkan musik klasik yang membawa kenyamanan dan ketenangan dalam perjalanan.

“Nah, sudah sampai!” Papa menghentikan laju mobilnya.
Rania mengenal jalan ini. Jalan Dago. Tempat Rania sering berbelanja dan menghabiskan waktu luang. Tapi untuk Hari Minggu pagi ini, apa yang hendak dilakukannya?
Papa menurunkan sepeda Rania dan sepeda Arya dari mobil. Mama pun menurunkan makanan-makanan yang dibawanya. Papa menyuruh Rania dan Arya untuk membawa sepeda mereka masing-masing. Rania dan Arya semakin bingung. Mereka menuruti langkah papa dan mama dari belakang sambil menggiring sepeda mereka.

“Papa, ini mau ke mana sih? Capek nih,pa!” Arya bingung da mengeluh.

“Lihat saja kalian pasti senang dan bersemangat!” Papa menjawab singkat.

Jalanan sepi dari mobil. Tak seperti hari-hari biasanya, jalan ini selalu padat dengan keramaian mobil-mobil yang menunggu tuannya berbelanja. Bermacam-macam makanan enak dan nikmat berdiri di sepanjang jalanan yang sepi. Papa menghentikan langkahnya di depan sebuah bangku panjang dan duduk di sana.

“Rania, Arya, sekarang kendarailah sepeda kalian. Bermainlah sepuas kalian!”

“Emangnya boleh,pa? Nanti ditabrak mobil yang lewat,pa!” Kata Rania cemas.

“Pagi ini tidak akan ada mobil di sini. Kalian bebas menguasai jalan ini sebebas yang kalian mau” Kata mama meyakinkan.

Tanpa ragu, Rania mengayuh sepedanya. Arya mengikuti sang kakak dari belakang. Rania mengayuh kencang sepedanya dan berhenti pada sebuah simpangan lampu merah.

“Kok berhenti ,kak?” Tanya Arya heran namun tetap mengikuti kakaknya.

“Ada lampu merah, dek! Jadi harus berhenti. Nanti kalau kita jalan kita ditangkap polisi.”

Lampu merah di simpangan itu tidak berubah jadi hijau. Terus saja menjadi lampu merah. Rania dan Arya tetap berhenti dan menunggu. Dan beberpa sepeda yang dikendarai oleh anak-anak seumur mereka pun melewati lampu merah itu. Rania pun memutar sepedanya dan kembali ke tempat papa dan mama menunggu. Arya mengikuti kakaknya meskipun sebenarnya ia tak mengerti apa yang hendak dilakukan kakaknya.

Belum sampai di tempat papa, sambil mengendarai sepedanya, Rania berteriak,” Papa,papa!”
Papa yang sedang asyik menunggu sambil membaca sebuah majalah, kaget dan mencari sumber suara.
“Ada apa Rania, Arya?”

Rania yang terlihat letih mengayuh sepedanya dengan wajah berpeluh pun duduk di samping mama. Rania pun berkata,”Pa, tadi ada yang melanggar rambu-rambu lalu lintas!”
Mama mengusap wajah Rania yang berpeluh dengan handuk kecil yang mama bawa. Mama pun memberikan Rania dan Arya minum untuk menghilangkan letih dan haus mereka.

“Di sini kan tidak ada mobil?” Tanya papa heran.

“Kan ada lampu merah, pa. Emangnya sepeda boleh melanggar lampu merah?”

Mama dan papa tertawa mendengar pertanyaan Rania. Papa pun menjawab dan menjelaskan apa yang ditanyakan Rania,“Hari ini, daerah ini bersih dari kendaraan bermotor. Hanya untu bersepada. Guna lampu merah kan untuk mencegah kecelakaan antar pengendara. Karena hari ini tidak ada motor atau mobil dan yang ada di sini hanya sepeda, jadi lampu merah kita tidak harus berhenti.”

“Jadi, hari ini tidak ada mobil di sini?” Tanya Rania.

“Ia, nak. Setiap hari Minggu di jalan ini memang disediakan untuk anak-anak yang ingin bermain sepeda tanpa harus terganggu oleh mobil!”

Rania pun paham. Arya juga. Mama pun menunjuk ke arah spanduk yang bertuliskan ‘The Car Free Day’. Rania pun membacanya. Rania pun berdiri dari duduknya semula di bangku panjang dan menggiring lagi sepedanya.

“Masih mau main?” Tanya mama.

“Iya ma! Mau main 1 keliling lagi. Arya mau ikut?” jawab Rania dan mengajak adiknya ikut.
Mama dan papa mengizinkan mereka bermain sepeda lagi. Tapi tidak boleh lebih dari jam 11 karena mobil kembali berlalu lalang di daerah itu. Rania mengangguk dan langsung menaiki sepedanya. Mengayuh sepeda sekencang-kencangnya meninggalkan adiknya yang tertinggal di belakangnya. Meluapkan kegembiran di Minggu pagi.

                                                                 ***Selesai***

#Ternyata Saya Lebih Menjiwai Jiwa Anak-Anak yang Penuh Kebebasan..HAHAHA :D

Lamdas-Rajut Ukhuwah.. :)



Kukira Kau CinTa...

Mentari itu beranjak naik
Duduk letih di beranda
Menatap kosong dedaunan terusik
Angin sepoi-sepoi yang meniupkan asa

Sepasang bola mata menatap lekat
Menyapaku dengan genggam erat
Aku beranjak lekas tegas
Mengukir keceriaan tanpa raut lemas

Kugenggam harta logam di kananku
Mennggunya di persimpangan jalan
Sukma bergejolak tak tentu
Menduga cemas kedatangannya

Kucoba mengkhayalimu dalam penantian
Suara beratmu menggema dari ujung simpangan
Bersorak gembira dengan suara khasmu
CINDUA TAPAI...CINDUA TAPAI

Kukira kau CinTa
Rubuh,bobrok,jatuh
Saat penantianku kau bayar kehampaan
Karena bukan kau yang hadir,
CinduaTapaiku....

Sabtu, 21 Mei 2011

enjoy it


Custom Glitter Text

Kamis itu setelah upacara.....

Hari yang sangat menyenangkan! Bersama keluarga besar X.2 Berada di rumah Ari Erlambang, bermain bersama. Teriak, menjerit, bermain, itu semua menunjukkan kekompakkan kami. Rasanya tidak ingin terpisahkan dan ingin selalu bersama. Always Love you, AT 2 PM!! :)

Kamis, 19 Mei 2011

To My Dearest Mom..

To My Dearest Mom,
Surat ini kurangkai dengan butiran air mata cintaku untukmu. Lidahku tak bisa melafalkan kata-kata cinta terbaik dan terindah untuk ibu. Aku hanya mampu merangkaikan kata-kata, dengan harapan ibu sama sekali tidak membacanya. Aku hanya ingin menuangkan semua ini, dan ibu merasakan dari batin ibu karena ikatan kita sangat kuat.
Ucapan syukur yang tiada henti-hentinya ingin kusampaikan pada Allah . Maha Besar Penciptaku yang  telah menitipkanku di rahim seorang wanita dahsyat dam mengizinkanku dibesarkan dengan tangan lembut seorang ibu seperti ibuku. Sungguh, hanya Pada-Mu Tuhan kuhaturkan rasa syukur ini.
Saat tangis pertamaku memecah ketegangan malam itu, kutahu, ada seorang wanita yang tersenyum dan bersuka cita menahan sakit tubuh yang bertaruh hidup dan mati.  Ia melihat orok kecil yang tak bisa apa-apa di hadapannya dan membelai lembut kulit tipis dan tubuh mungilnya.
Ia membesarkan raga tak berdaya itu, di tengah kesibukannya, di tengah kebutuhannya, ia mendahulukan hidupku. Ia melindungiku, dan berusaha membesarkanku dengan perhatiannya, ar matanya, serta pelukan yang mendorong tumbuh kembangku, member warna di hidupku.
Sesaat,ku tahu ia menyadari, aku bukanlah lagi bayi dalam dekapan tangannya, seorang anak yang bermain dalam pengawasannya dan tidur dalam pelukannya. Aku beranjak dewasa. Aku tidak lagi anak kecil yang dikejar sang ibu untuk makan, dibantu dalam membuat PR, dan dicubit apabila melakukan kesalahan.
Aku pun lebih akrab bermain dengan teman sebayaku, menghabiskan banyak waktuku di sekolah. Ia  lebih banyak mengetahuiku tentangku dari wali kelasku. Hingga pada suatu hari, segala hal buruk berkecamuk di otakku. Saat ia memaksaku untuk bersekolah di asrama. Hal yang secara otomatis terlintas di benakku adalah, “IBU AKAN MENCAMPAKKANKU DAN TAK MENGINGINKANKU SERTA INGIN MENJAUHIKU
Aku menangis sejadi-jadinya. Dengan wajah tegarnya, ibu tetap saja memaksakku dan berusaha tersenyum. Kujalani juga meski dengan isak tangis di dalamnya. Ia seakan tak ingin mendengarkan jeritanku. Tanpa sadar aku kembali ke rumah setelah tiga tahun terpisah darinya.
Keadaan berubah. Aku cemburu. Sangat cemburu. Ingin kukatakan langsung padamu ibu, tapi aku takut. Hatimu lembut dan suci. Tak sanggup aku melihat air matamu, meski kuakui, berlian itu sangat sering jatuh dari pelupuk matamu karenaku. Aku terkadang geram, mendengarkan serangkaian puji kebanggaan yang ia lontarkan untuk adikku. Apapun prestasi yang diraihnya, sekecil apapun, ibu selalu membanggakan segalanya. Aku merasa terpuruk. 
Saat aku pulang dengan wajah sumringah, senyum mengoda tak sabar ingin kusuguhkan untuknya. Aku mendekatinya, dan menceritakan dengan berapi-api. 'selamat'. Itu jawabannya. Aku berusaha meyakini bahwa ia tak bermaksud demikian. Ia wanita karier yang sangat sibuk. Tapi hari demi hari, kupingku panas mendengarkan semua kebaikan yang ia sebutkan dari adikku. Aku merasa aku hanyalah sesosok dari sampah masyarakat yang tertimbun di timbunan paling bawah. Padahal, mau tak mau kuakui, aku jauh memiliki banyak prestasi dibanding adikku. Aku lebih ceria dari adikku. Tapi..
Aku mencoba menjadi adikku,ibu. Aku ingin menarik perhatiannya. Tapi tetap saja. Ia belum menghiraukanku dan menjadikan sahabatnya. Malah membuatku semakin berjarak dengannya. Pernah sesekali aku tanya padanya mengapa ia begitu membanggakan adikku. Ia hanya menjawab,"Kau tak setegar adikmu" Hanya itu jawaban ibu. Dan tak membuatku percaya dan semakin hancur.
Ibu, aku tak kuasa saat melihat air matamu. Aku juga tak kuasa menyaksikan tatap kecewamu padaku. Dan aku sungguh takut hati ini saat cinta itu padam darimu ibu.
Aku tak mau kehilanganmu,bu! Sepanjang malam,dengan iringan dzikir, aku bergumam, Aku ingin meninggalkan ibu lebih dulu, aku takut hidupku hanya beban bagi ibu. Aku tak ingin air mata mengiringi hidupmu karenaku bu. Apa yang bisa menebus semua dosaku ini bu?
Suatu hari nanti,bu, ini tekadku. Aku mungkin tak bisa membahagiakan ibu seperti yang ibu inginkan. Itu sekarang bu. Suatu hari nanti, akan kuputar semuanya, dan menunjukkan aku bisa membahagiakan ibu. Aku berjanji bu, akan kutukar peluh yang menetes, air mata ibu, dengan kebanggaan yang tak bisa ibu diperoleh ibu manapun. Itu azzamku bu. Aku hanya butuh ridho dan keikhlasanmu,bu! 

*Ibu, kuharap kau tidak menyaksikan apa yang kutulis*